Selasa, 20 Agustus 2013

Pers Rilis MIUMI Aceh Tentang Kondisi Mesir Terkini

mesir4Bismillahirrahmanirrahim
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh
Kami dari Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) provinsi Aceh sangat prihatin dengan kondisi umat Islam di Mesir saat ini, akibat dari kudeta yang dilakukan pihak militer Mesir terhadap presiden Mursi yang terpilih pertama kali secara demokrasi. Terlebih lagi melihat cara militer dalam menghadapi para demonstran pendukung Mursi dengan kekerasan dan pembunuhan sehingga banyak umat Islam yang terbunuh.
Untuk merespon kondisi Mesir tersebut dan sebagai wujud rasa ukhuwwah islamiah, maka MIUMI Aceh mengambil sikap sebagai berikut:
Pertama, mengutuk cara-cara biadab yang dilakukan militer Mesir dalam menghadapi demonstran pendukung Mursi selama ini dengan cara melakukan pembantaian. Pembantaian yang dilakukan militer Mesir jelas-jelas telah melanggar HAM yaitu hak bebas berpendapat dan hak hidup, terlebih lagi melanggar syariat Islam dengan membunuh orang tanpa hak yang dibenarkan dalam syariat.
Kedua, mendesak pemerintah Mesir untuk menghentikan cara-cara kekerasan dalam menghadapi para demonstran dan mendengarkan aspirasi rakyat dalam demostrasi damai yang dilakukan umat Islam oleh pendukung Mursi. Karena para demonstran adalah rakyat Mesir yang memiliki hak untuk berbicara dan berpendapat.
Ketiga, mendukung tuntutan para demostran pendukung Musri untuk mengembalikan Mursi sebagai presiden yang sah. Kudeta militer terhadap pemerintahan Mursi adalah illegal dan pelecehan terhadap demokrasi, karena presiden Mursi terpilih secara demokrasi. Maka apapun upaya untuk menjatuhkan pemerintah yang sah adalah melanggar konstitusi nasional maupun internasional, bahkan melanggar syariat Islam.
Keempat, mendesak negara-negara Arab dan internasional untuk mengutuk tindakan brutal militer Mesir dan menekan pemerintah Mesir saat ini dengan tidak mengakui pemerintahannya dan tidak memberi bantuan apapun serta membantu menyelesaikan krisis politik di Mesir untuk mengembalikan Mursi sebagai presiden yang sah.
Demikian sikap MIUMI Aceh terhadap kondisi Mesir saat ini.
Wassalam
Ketua umum MIUMI Aceh
Ust. Muhammad Yusran Hadi, Lc, MA
http://www.eramuslim.com

VHS (VIOLENCE, HOROR DAN SEX) ADALAH KUNCI YAHUDI MERUSAK MORAL SUATU BANGSA...





STOP NONTON FILM PORNO KARENA DAPAT MENGAKIBATKAN DEGRADASI DAN KEHANCURAN BIOLOGIS DAN PSIKIS, 

Kerusakan otak akibat pengaruh pornografi di mesin Magnetic Resonance Imaging (MRI), hasilnya sama dengan kerusakan pada mobil saat tabrakan keras. Demikian penjelasan r Elly Risman, psikolog dari Yayasan Kita dan Buah hati Jakarta.

Menurut Elly Risman, Pree Frontal Cortex (PFC) akan rusak ketika anak melihat pornografi. Padahal PFC adalah pusat nilai, moral, tempat di mana merencanakan masa depan, tempat mengatur manajemen diri. Bagian otak alis kanan atas inilah yang menentukan jadi apa seorang anak nantinya. Karena itulah PFC juga disebut direktur yang mengarahkan kita.

“Nah pada saat anak kecil dan melihat pornografi si direkturnya belum bisa melarangnya karena belum matang, maka orangtuanya lah yang harus menjadi direktur bagi si anak, tapi mengapa sekarang orangtua malah memberikan anak gadget, HP, dan akses internet secara bebas?”ucap Elly Risman dalam acara seminar parenting bertema “Tantangan Mendidik Anak di Era Digital” yang diselenggarakan SD Integal Luqman Al Hakim Surabaya belum lama ini.

“Setelah melihat pornografi, maka gambar visual pornografi itu akan dikirim ke otak bagian belakang, disebut juga respondent. Karena respondent ini belum berfungsi maka anak akan kaget,” ujar Elly.

Jika respondent tersenggol maka dia akan mengeluarkan hormon yang namanya dopamin. Dopamin itu akan mengeluarkan zat yang akan membuat anak merasa senang, nikmat,bahagia, dan membuat anak kecanduan, ungkapkanya.

Karena itu, menurutnya candu pornografi itu membuat orang menjadi dissensitifisasi. Gambar porno yang sudah dilihat tidak akan dilihat ulang karena sudah tidak berpengaruh lagi, yang ingin dilihat lagi adalah gambar porno yang lebih dari gambar sebelumnya, karena rasa senstifnya hilang.

Oleh karena itu para pencandu pornografi akan selalu meningkat candunya seperti menaiki tangga, ia ingin lebih, lebih dan lebih lagi.

“Ketika anak melihat satu kali pornografi maka dia ingin dua, tiga, empat kali lagi,” ujar Elly Risman. Ketika gambar pornografi sering melewati PFC, maka bagian yang menyimpan moral dan nilai, membuat perencanaan hidup ini, akan menciut, mengecil dan akibatnya dorongan seks akan tidak terkendali , karena mata tidak bisa ditahan, otak menjadi rusak dan ketagihan seks.

“Proses melihat pornografi dengan bersetubuh sama, jadi anak yang melihat pornografi mereka bersetubuh dengan gambar –gambar,” ujar Ibu yang pernah mengikuti pelatihan parenting di USA ini.

Menurutnya selain hormon dopamin yang berproduksi hormon norepinephrine juga akan keluar. Hormon norepinephrine berfungsi sebagai pembeku memori kenangan yang detail.

Seperti seorang istri dengan bagian-bagian-bagian tertentu suaminya, begitu pun sebaliknya. Hormon norepinephrine biasanya keluar setelah bersetubuh. Selain norepinephrine, otak juga akan mengeluarkan hormon oksitoksin. Ini adalah adalah hormon mawadah wa rahmah. Hormon yang mengikat antara suami dan istri.

Tapi jika anak yang bersetubuh dengan gambar maka hormon ini akan mengikat anak tersebut dengan gambar porno yang telah dilihatnya. Makan anak dan orang dewasa yang sudah candu pornografi maka susah menyapihnya.

”Nah setelah mencapai klimaks, maka akan keluar hormon serotonin, hormon ini yang membuat relax dari ujung rambut sampai ujung kaki,” ujarnya.

Karena itu, ia berharap pada orangtua menjaga anak-anak agar otak mereka tidak rusak sebelum kesiapan peran seksual yang telah diciptakan Allah Subhanahu Wata’ala untuk mereka telah siap dan halal.

Menurutnya, begitulah jahatnya bisnis pornografi menjadikan anak sebagai sasaran tembak empuk, karena mereka ingin anak itu rusak dan menjadi pelanggan pornografi seumur hidup.

Aktivitas Pacaran

Selain pornografi yang mengaktifkan hormon seksual, termasuk di dalamnya adalah aktivitas pacaran. Karena itu, ia sangat menyayangkan film-film remaja saat ini begitu vulgar mengajak anak untuk berpacaran dan berhubungan seks secara bebas. Karena itu, kewaspadaan orangtua terhadap serangan pornografi sangat di harapkan.

”Jangan hanya mengaharap kepada sekolah yang mengajari nilai-nilai agama pada anak, namun orangtua harus berperan aktif membangun moral agama pada diri anaknya sendiri, ” ucapnya.

Kembalikan peran Ibu dan Ayah pada tempatnya. Dan para orangtua harus lebih dulu hadir dalam kehidupan anaknya, bukan mereka yang punya kepentingan bisnis pornografi yang hadir dalam kehidupan anak-anaknya. Sebab anak-anak yang jiwanya selalu merasa sendiri, booring, stress, dan lelah akan sangat gampang dimasuki oleh industri pornografi.

-BERITA&ISLAM-
Oleh :Samsul Bahri/Hidayatullah

Minggu, 18 Agustus 2013

Dialog Imam Ja’far Shadiq dan Ateis

Imam Ja’far Shodiq as. suatu ketika didatangi seorang atheist dan berdialog dngnya.
Atheist : ‘Wahai Ja’far, apakah Tuhanmu bisa memasukkan gajah kedalam sebuah telur, tanpa gajah itu mengecil juga tanpa telur itu membesar ?’
Imam Ja’far as : “Tuhan terlepas dari kuantitas, Tuhan tidak dibatasi ruang dan waktu. Berapa indera yang kau miliki ?”
Atheist : ‘Ya, aku bisa melihat, aku bisa mendengar, aku bisa mencium, merasa dan bicara..’
Imam Ja’far as : “Mana yang paling kecil ?”
Atheist : ‘Mata’.
Imam Ja’far as : “Berdirilah diluar sana, dan lihat sekelilingmu. Katakan kepadaku apa yang kau lihat ?”
Atheist : ‘Ya, aku melihat pasar, aku melihat bangunan, aku melihat binatang ternak, aku melihat orang2 berjualan dsb..’
Imam Ja’far as : “Apakah kau masih berfikir ΛLLΛH tidak mampu memasukkan gajah ke dalam telur tanpa gajah itu mengecil atau telur itu membesar ? ΛLLΛH telah menciptakan mata dengan ukuran lebih kecil dari telur, dan menjadikan segala sesuatu yang dilihat masuk kedalamnya.”

Hubungan antara pemikiran Tafsir Hasan al-Banna dengan Madrasah Muhammad 'Abduh



Tidak dapat dipungkiri bahwa manhaj tafsir al-Banna ini berkesinambungan dengan pemikiran dan idealisme Madrasah Muhammad 'Abduh. Meskipun al-Banna tidak berkesempatan bertemu dengan 'Abduh, namun pengaruh pemikiran islah' Abduh menempias dirinya sejak awal lagi melalui ayahnya yang merupakan mahasiswa al-Azhar di zaman 'Abduh dan anggota asosiasi al-' Urwah al-Wuthqa. Saat di universitas, dia juga mengagumi murid-murid 'Abduh seperti Farid Wajdi dan Ahmad Taymur, bahkan memiliki hubungan erat dengan Muhammad Mustafa al-Maraghi (m.1945) [55] dan Muhib al-Din al-Khatib. Dia juga membuat dua buah buku 'Abduh yaitu "Risalah al-Tawhid" dan "al-Islam wa al-Nasraniyyah Bayna al-' Ilm wa Madaniyyah" sebagai teks pengajian bagi anggota gerakan Ikhwan.
Selain itu, al-Banna juga mengikuti kelas pengajian Muhammad Rashid Rida dan memiliki hubungan erat dengan keluarga Rida. Keakraban ini menjadi faktor beliau mendapat kepercayaan untuk menghubungkan Tafsir al-Manar [57] dan dikatakan Rida beriya-iya untuk bergabung gerakan al-Ikhwan al-Muslimin di akhir hayatnya. Justru itu, Rif'at Sa'id berpendapat al-Banna lebih terkesan dengan pemikiran Rida dibandingkan 'Abduh. Ini karena Rida menjauhi pemikiran tajdid 'Abduh sedikit demi sedikit sehingga membangun pemikiran sendiri yang berorientasi manhaj salaf. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dakwah al-Banna adalah lanjutan ke aliran salaf di kalangan murid-murid Muhammad 'Abduh yang dipelopori oleh Rida.
Hubungan antara al-Banna dengan reformis-reformis sebelumnya sangat jelas di mata Gerakan al-Ikhwan al-Muslimin yang membentuk satu rantai tajdid. Al-Afghani dianggap sebagai penyeru reformasi dan pemberi ingatan setelah melihat permasalahan yang terjadi, Muhammad 'Abduh sebagai pemikir yang memahami isu, Rida sebagai pencatat diskusi dan sejarawan, sedangkan al-Banna sebagai pembangun kebangkitan, pemimpin generasi dan pendiri ummah. Namun, tokoh-tokoh terdahulu bertindak sebagai reformis agama dan akhlak saja, karena mereka tidak ada pandangan Islam yang komprehensif. [59] Sebaliknya al-Banna menyatukan metode islah al-Afghani melalui politik dan 'Abduh melalui tarbiyah serta memperjuangkan Islam secara komprehensif, mencakup aspek akidah, ibadah, syariah, tarbiyah (akhlak, intelektual dan jasmani), jihad, politik, sosial dan ekonomi. [60] Ia melewati batas dunia pendidikan dan pengajaran yang menjadi inti gerakan islah 'Abduh dan Rida. Beliau menyampaikan pesan kesyumulan Islam ini kepada semua lapisan masyarakat, tanpa membatasi pada kaum intelektual saja [61] dan merealisasikan pesan ini di lapangan melalui sebuah gerakan dakwah yang tandhim haraki, yaitu Ikhwan al-Muslimin.

Adanya beberapa persamaan dalam manhaj penafsiran antara al-Banna dan Madrasah Muhammad 'Abduh dapat memperkuat hubungan ini. Diantaranya adalah penekanan pada pesan al-Qur'an sebagai kitab hidayah, kepentingan sirah dalam memahami nash, kesatuan tema dalam sebuah surat, relevansi al-Qur'an dengan realitas kehidupan, gaya bahasa penafsiran yang mudah serta menjauhi unsur-unsur Isra'iliyyat dan hal-hal yang dianggap sebagai penghalang dari hidayah al-Qur'an.

Umumnya, al-Banna hanya terpengaruh dengan gagasan islah Madrasah 'Abduh dan perjuangan mereka dalam mempertahankan Islam serta seruan ke arah kesatuan Islam sebagai satu cara untuk mendapatkan kekuatan dan bebas dari penjajah. [62] Hal seperti ini lumrah karena seseorang itu sudah pasti terkesan dengan suasana saat dan arus kehidupan di sekitarnya. Namun ia tidak menerima manhaj tafsir madrasah ini secara total. Sebaliknya, ia meletakkan pendirian yang jelas dan kuat sehingga tidak terjerumus dalam kesalahan 'Abduh dan muridnya yang mengutamakan akal dalam tafsir sehingga menolak hadits Ahad dalam hal akidah khususnya sam'iyyat, mentakwil hal mubhamat dengan sains dan mengesampingkan sabab al -Nuzul dalam memahami nash. Kesalahan ini telah mengundang kontroversi sehingga madrasah ini dianggap oleh sebagian peneliti sebagai madrasah yang berbasis rasional atau manhaj yang menselarikan Islam dengan peradaban Barat, [63] meskipun sebagian yang lain membuat tuntutan zaman dan tantangan peradaban Barat sebagai pembenaran untuk kecenderungan ini. [64 ] Dalam isu ini, pandangan Muhammad al-Ghazali wajar diberi perhatian. Dia mengakui beberapa kesalahan manhaj tafsir 'Abduh, namun membantah beberapa tuduhan terhadap pribadinya. Sebaliknya ia ingin masyarakat menghormati orang-orang terdahulu serta melihat nilai ilmiah dan kontribusi yang lebih besar kepada pemikiran Islam dibandingkan kelemahan yang mungkin disebabkan kondisi tertentu. [65] Kelemahan lumrah terjadi kepada perintis perubahan dan barangkali juga ada sebab musababnya yang hanya dimengerti oleh mereka yang di zaman tersebut. Jadi, adalah lebih wajar untuk menerima kebaikan yang ada dan tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukan.

Selasa, 16 Juli 2013


Sang Murabbi, KH Rahmat Abdullah

hasanalbanna
Rahmat Abdullah, yang seringkali dipanggil Bang Mamak oleh warga Kampung Kuningan ini, meskipun lahir dari pasangan asli Betawi, namun ia selalu menghindari sebutan Betawi yang dianggapnya berbau kolonial Belanda. Ia lebih bangga dengan menyebut Jayakarta, karena baginya itulah nama yang diberikan Pangeran Fatahillah kepada tanah kelahirannya. Sebuah sikap yang tak lain lahir dari semangat anti kolonialisme dan imperialisme, serta kebanggaan (izzah) terhadap warisan perjuangan Islam.
Pada usia 11 tahun, Rahmat kecil harus menapaki hidupnya tanpa asuhan sang ayah, karena saat itu ia telah menjadi seorang anak yatim. Sang ayah hanya mewariskan pada dirinya usaha percetakan-sablon, yang ia kelola bersama sang kakak dan adik untuk menutupi segala biaya dan beban hidup yang mesti ditanggungnya.
Meskipun begitu, Rahmat bukanlah remaja yang cengeng. Walaupun harus ikut membanting tulang mengais rezeki, ia tetap tak mau tertinggal dalam pendidikan. Awal pendidikan resminya ia mulai sejak masuk sekolah dasar negeri di bilangan Kuningan, yang kala itu masih berupa perkampungan Betawi, belum berdiri gedung-gedung pencakar langit. Dan seperti umumnya generasi saat itu, Rahmat kecil setiap pagi mengaji (belajar membaca Al Quran, baca tulis Arab, kajian aqidah, akhlaq & fiqh dengan metode baca kitab berbahasa Arab, nukil terjemah dan syarah ustadz) baru siang harinya dilanjutkan dengan sekolah dasar.
Tahun 1966, setelah lulus SD, yang tahun ajarannya diperpanjang setengah tahun karena terjadi peristiwa G-30-S/PKI, Rahmat masuk SMP. Tapi kali ini ia mesti keluar lagi karena terjadi dilema dalam dirinya. Ironi memang, di satu sisi keaktifan dirinya sebagai aktifis demonstran anggota KAPPI & KAMI yang dikenal sebagai angkatan 66, namun di hari Jum’at sekolahnya justru masuk pukul 11.30, tepat saat shalat Jum’at.
Karenanya pada permulaan tahun ajaran berikutnya (1967/1968) Rahmat memutuskan pindah ke Ma’had Assyafi’iyah, Bali Matraman. Dari hasil test dan interview, ia harus duduk di kelas II Madrasah Ibtidaiyah (tingkat SD). Namun Rahmat tidak puas dengan hasil itu, ia mencoba melakukan lobby dengan seorang ustadz, untuk melakukan test ulang hingga ia pindah duduk di kelas III.
Permulaan belajar di Ma’had ini, bagi Rahmat begitu berbekas. Apalagi ia harus ikut mengaji pada seorang ustadz senior Madrasah Tsanawiyah (Tingkat SMP) yang sangat streng dalam berbicara dan mengajar dengan bahasa Arab. Namun tak selang lama, ternyata sang guru kelas ini justru sama-sama mengaji bersamanya.
Rahmat memang langsung meloncat naik ke kelas V, di sinilah ia belajar ilmu nahwu dasar yang sangat ia sukai karena dengan ilmu itu terkuaklah setiap misteri intonasi dan narasi penyiar Shauth Indonesia, yang sering disiarkan oleh radio RRI dengan berbahasa Arab. Siaran inilah yang menjadi acara kesukaan Rahmat. Sehingga meski hidupnya serba kekurangan, namun karena sadar akan pentingnya komunikasi dan informasi, Rahmat merelakan uang makannya untuk dikumpulkan sedikit demi sedikit dari hasil jerih payahnya mencari pelanggan sablon, untuk membeli radio. Padahal saat itu, radio masih menjadi status simbol bagi orang-orang kaya zaman itu.
Selepas kelas V, Rahmat melanjutkan di Madrasah Tsanawiyah Assyafi’iyah. Di MTs ini ia belajar ushul fiqh, musthalah hadits, psikologi & ilmu pendidikan, di samping tetap belajar ilmu nahwu, sharf dan balaghah. Tapi pelajaran yang paling ia sukai adalah talaqqi. Biasanya talaqqi ini dilakukan langsung dengan para masyaikh (kiai) serta bimbingan langsung sang orator pembangkit semangat yang selalu memberikan inspirasi Rahmat muda, KH Abdullah Syafi’i.
Di saat ini pula Rahmat merintis dakwah dengan mengajar di Ma’had Asyafi’iyah dan Darul Muqorrobin, Karet Kuningan. Di tempat inilah Rahmat remaja mengabdikan dirinya sebagai guru, pendidik dan mengajarkan berbagai ilmu. Keseharian ini ia jalani bertahun-tahun dengan berjalan kaki dari Bali Matraman ke Karet Kuningan. Bahkan untuk memberikan pelajaran tambahan berupa les privat pun ia lakukan dengan berjalan kaki masuk ke lorong-lorong jalanan Jakarta hingga larut malam.
Semangat hidup dan dakwah ini juga ia tuangkan dalam berbagai untaian bait-bait syair, puisi serta berbagai tulisan artikel kecil yang ia kirim ke berbagai media. Tak jarang ia juga berlatih bermain teater bersama rekan-rekan guru atau teman-teman seperjuangannya.
Dari jerih payah inilah, selain bisa membeli sebuah motor Honda 66 atau sering disebut motor Chips, Rahmat Abdullah mampu mengasah watak dan pikirannya sehingga menjadi murid terbaik dan murid kesayangan dari KH. Abdullah Syafi’i. Bahkan sempat pada tahun 1980, bersama empat rekannya mau diberangkatkan ke Universitas Al Azhar Kairo Mesir, namun sayang gagal karena adanya ‘fitnah’ dari kalangan internal.
Namun hal itu tak menyurutkan Rahmat untuk selalu belajar. Sejak berkenalan dengan Syeikh Mesir yang pernah dikenalkan KH. Abdullah Syafi’i padanya, ia mulai senang melahap berbagai buku dan pemikiran Islam seperti Hasan Al Banna, Sayyid Quthb, Al Maududi serta tokoh nasional seperti HOS Cokroaminoto dan M. Natsir.
Sedang dari perjalanan dakwah bersama remaja-remaja Kuningan, menjadikannya sangat suka kala berdiskusi dan berguru dengan tokoh-tokoh M Natsir, Mohammad Roem ataupun Syafrudin Prawiranegara. Rahmat pun mengakui secara terus terang mengadopsi logika dan metode orasi yang ia ambil dari sang orator Isa Anshari dan Buya Hamka serta sang gurunya sendiri, Abdullah Syafi’i yang masyhur dengan teriakan lantang penggugah jiwa.
Rahmat remaja meski dikenal sebagai demonstran tapi sosoknya dikenal lembut, bahkan dianggapnya seringkali tidak bisa marah. Kemarahannya akan terlihat meledak jika Islam dilecehkan. Sebagaimana saat mendengar pembicaraan sang kakak, Rahmi, saat meminta kolega bisnisnya yang bekerja sebagai Kopasanda -Kopassus- untuk melunasi hutangnya. Tapi Kopassanda malah menjawab, “Nabi saja bisa meleset janjinya.” Kontan mendengar pernyataan itu Rahmat keluar dari ruangan samping dan langsung berucap, “Nabi yang mana janjinya tidak tepat,” Kopasanda itu malah menjawab, “Anda ndak usah ikut campur dengan urusan ini.” Rahmat remaja langsung menyambut, “Suara Bapak terdengar di telinga saya di sini, sekali pun bapak berpakaian dinas, nabi yang mana yang ingkar janji itu,” ujar Rahmat menahan emosi. Akhirnya Kopasanda itu minta maaf.
Sikap tegas ini lah yang menjadikan Rahmat Abdullah muda sangat disegani para pemabok ataupun preman. Karena caranya mendekati yang bersahabat. Bahkan, meski pernah kakaknya disakiti jagoan Kuningan waktu itu, H. Hamdani, ia tetap bisa menghadapinya dengan baik. Malah anak jagoan itu yang kemudian sempat ditahan polisi.
Anak-anak muda, preman, seniman semuanya ia rangkul terutama dalam wadah seni teater yang sering ia gelar di lapangan depan masjid Raudhtul Fallah —lapangan yang berada di belakang Dubes Malaysia saat ini-. Di tempat inilah Rahmat muda sering mengekspresikan syair dan puisinya serta peranan imajinasi dan pemikirannya sebagai sutradara teater dengan menggelar pagelaran teater drama terbuka. Teater yang terakhir kali ia pentaskan berjudul “Perang Yarmuk” yang tampil bersama Abdullah Hehamahua (1984). Dimana pementasannya sempat dikepung oleh intel dan aparat keamanan karena dianggap subversif di masa kekuasan Suharto.
Selepas pentas pun, tak ayal Rahmat dipanggil untuk menghadap KODIM. Namun Rahmat justru menjawab “Kalau yang memanggil Ibu, saya akan datang. Kalau yang memanggil KODIM sampai kapan pun saya tak akan pernah datang. Kalau mau saya datang ke KODIM, datang dulu ke ibu saya,” ungkap Rahmat muda menjawab aparat dari kodim yang melayangkan surat panggilannya. Bahkan salah satu aparat KODIM, Soeryat, sempat menangis di hadapan Rahmat muda karena nasehat-nasehatnya agar tidak saling ‘memberangus’ sesama Muslim.
Keasyikan menceburkan diri dalam dakwah, rupanya menjadikan Rahmat tak sadar telah dimakan usia. Rahmat baru tersadar ketika seorang teman yang baru menikah mengingatkan sudah waktunya memikirkan bangunan rumah tangga. Barulah ia menyadari usianya sudah memasuki tahun ke-32.
Malam itu, malam Kamis 14 Ramadhan 1405 H. (1984 M), bertiga; Rahmat, ibunda dan bibi datang mengkhitbah seorang anak yang pernah menjadi muridnya, Sumarni, tatkala Rahmat duduk di kelas II MTs. Saat itu Sumarni masih menjadi siswi kelas I Madrasah Ibtidaiyah (lk. Umur 5 tahun). Ia adalah sang nominator juara I untuk lomba praktik ibadah.
Saat berlangsungnya khitbah, ketika keluarga Rahmat mengajukan usulan walimah bulan Syawal seperti kebiasaan Rasululllah saw, seorang ustadz wakil dari perempuan mengatakan, “Itu tetap walimah, tetapi Anda tidak akan menemukan keberkahan seperti bulan (Ramadhan) ini.” Akhirnya, disepakati untuk nikah besok malamnya, malam Jum’at 15 Ramadhan. “Soal KUA urusan Ane, tinggal terima surat aje,” ujar ustadz tadi. “Bah, ini rada-rada ketemu,” ujar Rahmat muda dalam hati.
Walhasil sampai menjelang rombongan berangkat 15 Ramadhan itu, masih ada teman pemuda masjid yang bertanya, “Ini mau kemana sih?” Apalagi suasana saat itu memang masih represif. Bahkan belum sebulan menikah, di pagi buta ba’da subuh sesaat setelah peristiwa Tanjung Periok, Rahmat telah dijemput untuk mendengarkan rekaman peristiwa penembakan massa di Tanjung Priok yang terjadi semalam. Pagi itu lelaki yang sudah mulai akrab dipanggil Ustadz Rahmat itu, bersama pemuda Islam lainnya langsung meninjau lokasi yang porak poranda. Mendengar peristiwa itu pun, sang mertua justru mengusulkan untuk selalu membawa sang isteri untuk diajak juga keliling berbagai kota di Jawa. “Untuk penjajagan sikap ummat dan apa yang kerennya disebut ‘konsolidasi’lah,” ujar Ustadz Rahmat saat diwawancarai beberapa saat lalu.
Setelah menikah, ia tinggal di Kuningan, bersama Ibu dan Adiknya. Hingga lahir tiga orang anaknya, Shofwatul Fida (19), Thoriq Audah (17) dan Nusaibatul Hima (15).
Pada pertengahan tahun 80-an Rahmat muda bergabung dengan Harakah Islamiyah yang saat itu tumbuh berkembang di Indonesia. Bersama Abu Ridho, Hilmi Aminudin dan beberapa tokoh pemuda Islam lainnya terus bersatu bergerak dalam dakwah yang lebih luas dan tertata. Gerakan dakwahnya ini lebih terinspirasi pada gerakan Ikhwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al Banna di Mesir yang sama-sama menjadi acuan kalangan muda saat itu
Pemikiran Hasan Al Banna yang telah lama menginspirasi dakwah pribadinya kini telah bertemu implementasinya bersama teman-teman yang merintis pendidikan dan kaderisasi dalam rangka penyadaran akan Islam dan mempertahankan kemurniannya. Di wadah baru inilah Rahmat selain berdiskusi, mengakses berbagai informasi tanpa melalaikan fungsi utama juga sebagai pendidik, penceramah, Rahmat merintis sebuah majalah Islam yang sangat disukai dan digemari kalangan muda. Namun sayang, saluran ekspresi pemikirannya itu harus dibredel di saat rezim orde baru mulai mengkhawatirkan kiprahnya. Namun pembredelan itu tak menyurutkan Rahmat untuk membuka lembaran baru berekspresi dalam dakwah.
Dan setelah 8 tahun menetap di Kuningan, ia mengontrak di Jl. Potlot I/ 29 RT 2 RW 3 Duren Tiga, Kalibata. Di sana lahir anaknya, Isda Ilaiha (13). Tapi panggilan dakwah sepertinya lebih memanggilnya. Tahun 1993 bersama murid-muridnya mencoba membangun pengembangan dunia pendidikan dan sosial dengan mendirikan Islamic Center Iqro’ yang terletak di Pondok Gede, Bekasi, Jawa Barat.
Di sini pula ia menetap dan memboyong keluarganya dari kontrakannya di Gang Potlot, Duren Tiga, Kalibata menuju tanah yang masih penuh rawa untuk berekspresi mengembangkan cita-citanya melalui kajian kitab-kitab klasik dan kontemporer. Di tempat terakhir ini merintis segala impian dan lahir anak-anaknya, Umaimatul Wafa (11), Majdi Hafizhurrahman (9), Hasnan Fakhrul Ahmadi(7).Di sini kesibukannya, semakin padat. Tetapi, kebiasaan pribadinya, untuk membaca, mengkaji Al Qur’an dan Tafsirnya, Hadits dan syarahnya tetap berjalan. Begitupun, kegiatannya mengisi pengajian di kantor, kampus, serta melayani berbagai macam konsultasi sejak lepas subuh hingga jam 08.00 pagi. Ditambah lagi kesibukan di Iqro’.
Bahkan, kegiatan rutin ini tetap ia jalani meskipun semenjak tahun 1999 ia diamanahi sebagai Ketua Bidang Kaderisasi DPP Partai Keadilan. Demikian juga saat beralih menjadi Ketua Majelis Syuro sekaligus Ketua Majelis Pertimbangan Partai Keadilan Sejahtera yang ia dirikan bersama teman-teman seperjuangan setelah lebih dari 10 tahun ia rintis.
Pada tahun 2004 sang aktivis demonstrasi, budayawan, filosof, guru dan pendidik yang disegani anak muda ini harus masuk ke gedung parlemen. Ustadz Rahmat terpilih sebagai wakil rakyat dari daerah pemilihan Bandung, Jawa Barat. Dan baru pada saat Ustadz Rahmat Abdullah mencalonkan diri inilah Bandung untuk pertama kalinya dimenangkan partai Islam.
Meskipun telah menjadi wakil rakyat, Ustadz Rahmat dikenal dikalangan Komisi III sebagai wakil rakyat yang tetap bersuara lantang, namun penuh santun dan filosofis sekaligus puitis dalam mengkritisi setiap kabijakan. Tak peduli menteri, presiden dan pejabat manapun ia sampaikan kritikan tajam membangunnya yang seringkali menjadi wacana baru bagi para pemimpin negeri ini.
Bahkan jabatan terakhir sebagai Ketua Badan Penegak Disiplin Organisasi Partai Keadilan Sejahtera ia emban dengan penuh amanah dan luapan semangat hingga akhir hayatnya saat ia harus dijemput kematian sesaat setelah berwudhu hendak menunaikan penghambaan pada sang Khalik, Selasa (14/6).
Sebuah harapan yang mungkin telah engkau ungkapkan sepekan sebelum dirimu meninggal. Dimana tidak biasanya dirimu ditegur isterimu ketika membuka album-album kenanganmu. “Lihat nih, orang Betawi kini telah keliling dunia, ke Inggris, Jerman, Belanda, Perancis, Amerika juga Makkah. Tinggal ke akheratnya saja yang belum,” ujarmu berseloroh yang kini telah kau buktikan.
Demikian biografi singkat KH Rahmat Abdullah, semoga Allah melapangkan kuburnya, yang kami kutip dari warisansangmurabbi.com. Beberapa tulisan beliau bisa disimak di Hasanalbanna.com.

Redaktur: Shabra Syatila 

Aktivis Dakwah Kampus Moderat?


Photo © Přemysl Škaloud
Pernahkah kita merasa semakin hari semakin ada gradasi? Semakin luwes sikap kita terhadap hal yang dahulu dipegang erat oleh pendahulu kita. Mungkin kita mendefinisikannya sebagai moderasi, dan menganggap moderat menjadi tuntutan zaman. Apakah moderat seperti itu? Ibarat melepaskan simpul-simpul yang telah terikat kuat sebelumnya.
Dalam praktek aktivitas da’wah kampus, banyak aktivis yang mengklaim dirinya sebagai orang moderat dan tidak mau dicap ekstrem, alasannya supaya dakwah ini diikuti banyak orang. Moderasi itu bisa berupa dulu yang syuro’ atau tiap pertemuan pakai hijab sekarang tidak perlu, atau yang dulu ada jam malam hingga maghrib sekarang semakin dilarutkan, atau dulu yang foto akhwat tidak boleh dipajang sekarang boleh saja dipajang, atau dulu akhwat yang tidak boleh nyanyi sekarang boleh nyanyi dan contoh-contoh lainnya. Dengan alasan itu semua bukan hal yang tsawabit yang masih bisa ditolerir.
Tahukah kita bahwa moderat adalah karakter dari Islam itu sendiri? Sejak awal manhaj dalam Islam sudah moderat dan tidak perlu dimoderasi lagi. Dalam Kitab Kaifa nata’amalu ma’a as shunnah yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul “Bagaimana Memahami Hadits Nabi SAW” disebutkan Islam memiliki tiga karakter, Syumul (Komprehensif), Washat (Moderat) dan Taisyir (Memudahkan).
Dalam pandangan saya tiga karakter ini bisa menjadi urutan kita dalam memahami Islam, awalnya kita harus memahami Islam secara komprehensif. Setelah benar-benar memahami Islam dan berbagai kaidahnya barulah kita bicara soal moderasi yang dibangun atas dasar pemahaman yang utuh, sehingga moderasi adalah manifestasi dari kebijaksanaan. Barulah kemudian Islam dapat menjadi manhaj yang memudahkan.
Kembali ke persoalan moderasi aktivis dakwah, apakah perlu ada moderasi padahal Islam sendiri sudah moderat? Dan apakah moderasi ini sudah diawali dengan kefahaman agama yang komprehensif? Ataukah hanya sekedar tidak ingin dicap ekstrem dan supaya banyak peminat?
Hal inilah yang perlu diwaspadai oleh aktivis dakwah, jangan sampai ada missing link antara pemahaman yang utuh dengan sikap moderat. Bukankah di pelatihan-pelatihan awal di Lembaga Dakwah Kampus diberikan materi tentang Syumuliyatul Islam? Materi itu diharapkan menjadi triggerbagi aktivis dakwah kampus untuk mengkaji Islam yang Syumul pun secara syumul, bukan hanya jadi wawasan bahwa Islam itu syumul.
Lantas apa bedanya kita dengan orientalis barat kalau Islam sekedar dijadikan wawasan, bukan dikaji untuk diamalkan. Asset At Taqwa, Mantan ketua JANUR XI UKMKI Unair pernah menekankan “Antum jangan bicara ‘moderat’ kalau belum benar-benar memahami Islam dengan baik”. Seseorang yang memahami Islam, akan bersikap moderat dalam konteks membangun titik temu, sebab ia telah menemukannya dalam pemahamannya yang utuh. Ibarat seseorang yang telah utuh memahami fiqh, ia akan semakin arif dalam bersikap dan tidak ekstrim pada salah satu mazhab.
Jadi, moderat dalam berislam tanpa pemahaman terhadap Islam yang baik adalah sebuah kebodohan, dan akan menjadi virus dalam tubuh dakwah, alih-alih moderat justru bisa jadi liberal. Mengkaji Islam secara komprehensif adalah sebuah keniscayaan bagi mereka yang mengklain dirinya aktivis dakwah kampus, sehingga dalam berargumen dan bertingkah laku ia berdasarkan pada dasar agama yang kuat, bukan berdasar tren apalagi asumsi.
Dan yang perlu dicatat, bahwa forum bernama mentoring atau halaqoh saja tidak cukup dijadikan bekal dalam berIslam, masih banyak perbendaharaan ilmu agama ini yang tersebar di banyak majelis, yang perlu aktivis dakwah serap sebanyak-banyaknya, hingga lahirlah kearifan dalam berIslam, bukan sekedar ikut-ikutan. Wallahu’alam bishshowab
Oleh: Ahmad Jilul Qur’ani Farid, Surabaya

Copyright @ 2013 LDF AL-Mizan.