Tidak dapat
dipungkiri bahwa manhaj tafsir al-Banna ini berkesinambungan dengan pemikiran
dan idealisme Madrasah Muhammad 'Abduh. Meskipun al-Banna tidak berkesempatan
bertemu dengan 'Abduh, namun pengaruh pemikiran islah' Abduh menempias dirinya
sejak awal lagi melalui ayahnya yang merupakan mahasiswa al-Azhar di zaman
'Abduh dan anggota asosiasi al-' Urwah al-Wuthqa. Saat di universitas, dia juga
mengagumi murid-murid 'Abduh seperti Farid Wajdi dan Ahmad Taymur, bahkan
memiliki hubungan erat dengan Muhammad Mustafa al-Maraghi (m.1945) [55] dan
Muhib al-Din al-Khatib. Dia juga membuat dua buah buku 'Abduh yaitu
"Risalah al-Tawhid" dan "al-Islam wa al-Nasraniyyah Bayna al-'
Ilm wa Madaniyyah" sebagai teks pengajian bagi anggota gerakan Ikhwan.
Selain itu,
al-Banna juga mengikuti kelas pengajian Muhammad Rashid Rida dan memiliki
hubungan erat dengan keluarga Rida. Keakraban ini menjadi faktor beliau
mendapat kepercayaan untuk menghubungkan Tafsir al-Manar [57] dan dikatakan
Rida beriya-iya untuk bergabung gerakan al-Ikhwan al-Muslimin di akhir
hayatnya. Justru itu, Rif'at Sa'id berpendapat al-Banna lebih terkesan dengan
pemikiran Rida dibandingkan 'Abduh. Ini karena Rida menjauhi pemikiran tajdid
'Abduh sedikit demi sedikit sehingga membangun pemikiran sendiri yang
berorientasi manhaj salaf. Jadi, dapat disimpulkan bahwa dakwah al-Banna adalah
lanjutan ke aliran salaf di kalangan murid-murid Muhammad 'Abduh yang
dipelopori oleh Rida.
Hubungan
antara al-Banna dengan reformis-reformis sebelumnya sangat jelas di mata
Gerakan al-Ikhwan al-Muslimin yang membentuk satu rantai tajdid. Al-Afghani
dianggap sebagai penyeru reformasi dan pemberi ingatan setelah melihat
permasalahan yang terjadi, Muhammad 'Abduh sebagai pemikir yang memahami isu,
Rida sebagai pencatat diskusi dan sejarawan, sedangkan al-Banna sebagai
pembangun kebangkitan, pemimpin generasi dan pendiri ummah. Namun, tokoh-tokoh
terdahulu bertindak sebagai reformis agama dan akhlak saja, karena mereka tidak
ada pandangan Islam yang komprehensif. [59] Sebaliknya al-Banna menyatukan
metode islah al-Afghani melalui politik dan 'Abduh melalui tarbiyah serta
memperjuangkan Islam secara komprehensif, mencakup aspek akidah, ibadah,
syariah, tarbiyah (akhlak, intelektual dan jasmani), jihad, politik, sosial dan
ekonomi. [60] Ia melewati batas dunia pendidikan dan pengajaran yang menjadi
inti gerakan islah 'Abduh dan Rida. Beliau menyampaikan pesan kesyumulan Islam
ini kepada semua lapisan masyarakat, tanpa membatasi pada kaum intelektual saja
[61] dan merealisasikan pesan ini di lapangan melalui sebuah gerakan dakwah
yang tandhim haraki, yaitu Ikhwan al-Muslimin.
Adanya beberapa persamaan dalam manhaj penafsiran antara al-Banna dan Madrasah Muhammad 'Abduh dapat memperkuat hubungan ini. Diantaranya adalah penekanan pada pesan al-Qur'an sebagai kitab hidayah, kepentingan sirah dalam memahami nash, kesatuan tema dalam sebuah surat, relevansi al-Qur'an dengan realitas kehidupan, gaya bahasa penafsiran yang mudah serta menjauhi unsur-unsur Isra'iliyyat dan hal-hal yang dianggap sebagai penghalang dari hidayah al-Qur'an.
Umumnya, al-Banna hanya terpengaruh dengan gagasan islah Madrasah 'Abduh dan perjuangan mereka dalam mempertahankan Islam serta seruan ke arah kesatuan Islam sebagai satu cara untuk mendapatkan kekuatan dan bebas dari penjajah. [62] Hal seperti ini lumrah karena seseorang itu sudah pasti terkesan dengan suasana saat dan arus kehidupan di sekitarnya. Namun ia tidak menerima manhaj tafsir madrasah ini secara total. Sebaliknya, ia meletakkan pendirian yang jelas dan kuat sehingga tidak terjerumus dalam kesalahan 'Abduh dan muridnya yang mengutamakan akal dalam tafsir sehingga menolak hadits Ahad dalam hal akidah khususnya sam'iyyat, mentakwil hal mubhamat dengan sains dan mengesampingkan sabab al -Nuzul dalam memahami nash. Kesalahan ini telah mengundang kontroversi sehingga madrasah ini dianggap oleh sebagian peneliti sebagai madrasah yang berbasis rasional atau manhaj yang menselarikan Islam dengan peradaban Barat, [63] meskipun sebagian yang lain membuat tuntutan zaman dan tantangan peradaban Barat sebagai pembenaran untuk kecenderungan ini. [64 ] Dalam isu ini, pandangan Muhammad al-Ghazali wajar diberi perhatian. Dia mengakui beberapa kesalahan manhaj tafsir 'Abduh, namun membantah beberapa tuduhan terhadap pribadinya. Sebaliknya ia ingin masyarakat menghormati orang-orang terdahulu serta melihat nilai ilmiah dan kontribusi yang lebih besar kepada pemikiran Islam dibandingkan kelemahan yang mungkin disebabkan kondisi tertentu. [65] Kelemahan lumrah terjadi kepada perintis perubahan dan barangkali juga ada sebab musababnya yang hanya dimengerti oleh mereka yang di zaman tersebut. Jadi, adalah lebih wajar untuk menerima kebaikan yang ada dan tidak mengulangi kesalahan yang telah dilakukan.
assalamualaikum
BalasHapusmaaf kalau mau artikel ini secara lengkap bagaimana caranya ya? soalnya pembahasannya menjadi bahan buat skripsi saya. trims