engajar
itu mudah karena hanya menyampaikan pengetahuan. Mencari nilai baik pun bukan
perkara sulit. Namun berprilaku baik, itulah yang tersulit. Jauh lebih sulit ketimbang menuntut Ilmu.
Banyak orang bisa raih gelar Doktor atau PhD dalam usia belum 25 tahun. Namun
berapa banyak guru besar yang sudah memiliki karakter. Dari sejumlah pejabat di
Indonesia, berapa yang berkarakter?
Pemimpin berkarakter, tidak perlu harus diturunkan
rakyat seperti yang tengah bergolak di timur tengah sekarang ini. Puluhan tahun
memimpin tidak juga bisa mendidik karakter bangsa. Sebelum karakter bangsa
terdidik, didik dulu diri sendiri. Sesungguhnya dia tahu bahwa mustahil bisa
memimpin seumur hidup. Namun tidak mudah untuk mau dan mampu turun panggung
saat berkuasa. Karena sulit melepas kekuasaan, pemimpin tidak mampu mendidik
karakter sendiri. Tidak mampu benah diri, mustahil bisa benahi orang lain apa
lagi rakyat.
Begitulah orang pintar atau orang kaya bukan jaminan
berkarakter. Pejabat atau pengusaha ‘setali tiga uang’. Guru atau dosen lebih
banyak yang hanya bisa mengajar daripada mendidik. Sebagian motivator ternyata
hanya iming-imingi kesuksesan dan kekayaan. Mencari sukses apalagi memburu harta itu bukan
pendidikan karakter.
Orang yang cerdas, yang kaya, yang punya kedudukan
dan jabatan, banyak tidak tampak karakternya. Itulah yang menjadi soal. Dalam
kelupaan dan ‘merasa serba lebih’, inilah yang otomatis jadi penyebab character assassination. Pembunuhan
karakter yang dilakukan sendiri. Karena dilakukan sendiri pembunuhan karakter
tidak terasa, tidak tahu kapan dimulainya, dan tidak tahu kapan berakhirnya.
Karena oleh diri sendiri pematian nilai-nilai karakter terjadi tanpa disadari,
tapi langsung dan berjalan begitu lama.
Inilah pembunuhan karakter yang paling epektif dan
efisien. Karena itu bangsa ini kebingungan harus berbuat apa dalam menangani
krisis Indonesia yang seolah terperosok dalam sumur tanpa dasar. ( dikutip
dari buku Charakter Building, Erie Sudewo. Hal 243-244)
0 komentar:
Posting Komentar